Selasa, 15 Januari 2013

Ketika Minangkabau Merasa Terhina









“Buk…”

“Ya Pak.”

“Kok aku kepikiran karo putrinya mas Tris.”

“Nje… nje… neng Sleman, trus nendhi?”

“Kalo dijodoh ke karo Cahyo gimana?”

“Kemaren Titian itu bilang sama ibu, rupanya Cahyo baru dekat dengan orang Padang. Penarinya Titian.”

“Gadis Minang? Hebat itu ibadah e.”

“Insya Allah. Amin Pak. Nje.”


Terjemahan:



“Bu…”

“Ya Pak.”

“Aku terpikir putrinya Pak Tris.”

“Ya… ya… yang di Sleman, terus bagaimana?”

“Kalau dijodohkan dengan Cahyo bagaimana?”

“Kemarin Titian bilang sama Ibu, rupanya Cahyo baru dekat dengan orang Padang. Penarinya Titian.”

“Gadis Minang? Hebat itu ibadahnya.”

“Insya Allah. Amin Pak. Ya.”


Dialog di atas adalah petikan dialog berbahasa Jawa antara Fadholi dan Munawaroh, orangtua Cahyo, dalam film Cinta Tapi Beda (2012). Film dari Jakarta yang disutradarakan oleh Hanung Bramantyo asal Yogyakarta ini mengisahkan rencana perjodohan Cahyo dengan salah seorang kerabatnya di Sleman, Yogyakarta. Namun, kabar kedekatan Cahyo dengan gadis lain juga berhembus. Tak menolak, orangtua Cahyo justru menyambut baik kabar tersebut. Apalagi, gadis itu adalah seorang Minang yang taat ibadahnya.


Tapi harapan berbeda dengan kenyataan. Calon menantu gadis Minang, yang dibayangkan hebat ibadahnya itu, ternyata bertolak belakang dengan keyakinan akidahnya. Di sini, petaka pun lahir. Film karya Bramantyo ini menuai kontrovesi dari Minangkabau. Dia dianggap memelintir negeri yang menetapkan Al-Quran sebagai landasan adatnya.


Beda Keyakinan

Diana (diperankan Agni Pratistha), gadis Minang yang menjadi tokoh utama dalam film ini, adalah seorang Kristiani yang taat. Orangtuanya (Jajang C Noor) tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat. Untuk melanjutkan studi tugas akhirnya di bidang seni tari, dia menetap di rumah pamannya di Jakarta. Dalam perjalanan terkait tugas akhir tersebut, dia berjumpa dengan Cahyo (Reza Nangin), pemuda Yogyakarta yang disosokkan sebagai muslim yang taat.


Perjumpaan itu lama-lama menuai cinta di kedua orang tersebut. Hari demi hari mereka berinteraksi dengan penuh kasih sayang dan saling menghormati perbedaan keyakinan yang ada. Dengan tekad bulat, Cahyo kemudian membawa Diana ke rumah orangtuanya. Dan di sana Diana yang Kristen itu ditolak. Hal serupa juga dilakukan Ibu Diana yang tak mengharapkan putri bungsunya jatuh pada lelaki yang tak seakidah. Ibunya malah memperkenalkan Diana dengan dokter Oka (Choki Sitohang), Kristiani yang taat. Tapi Diana menolak.


Tak pelak konflik keluarga membayangi sepasang anak muda ini. Niat kuat lalu membuat Diana dan Cahyo mencoba menikah secara sembunyi-sembunyi. Hanya saja, usahanya itu terbentur di Kantor Urusan Agama (KUA) yang juga tak membolehkan menikah beda agama.


Simbol-Simbol Minangkabau

Usai ujian tugas akhir, Diana langsung dibawa orangtuanya ke Sumatera Barat. Dengan pesawat terbang, mereka mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang Pariaman. Pemandangan ranah Minang yang terkenal dengan Gonjong atap rumah gadangnya tervisualkan menyambut kedatangan para tamu. Diana dan orangtuanya langsung ke Bukittinggi, tempat tinggal mereka. Kembali Gonjong atap rumah gadang dan Jam Gadang yang menjadi landmark kota Bukittinggi ditampilkan dalam visual gambar nan elok.


Selama berada di wilayah Luhak Agam (Bukitinggi masuk dalam wilayah inti Minangkabau, kota ini berada di luhak Agam) itu, Diana kabur dari rumah untuk menemui Cahyo di Jakarta. Tapi malang, ibunya yang mengetahui pelariannya itu jatuh sakit dan sampai harus dirawat di rumah sakit Achmad Mochtar di Bukittinggi.


Saat cerita ini berlangsung, lagi-lagi ditampilkan identitas Minangkabau berupa Gonjong Atap rumah Gadang yang menjadi atap rumah sakit ini.


Diana yang sudah di Jakarta untuk melepas kerinduannya dengan Cahyo akhirnya balik ke Bukittinggi. Di saat itulah dokter Oka mencoba meyakinkan hati Diana. Dua anak muda yang seagama ini saling bercerita akan perasaan-perasaan mereka. Dialog-dialog mereka ini terjadi di Pasa Ateh (Pasar Atas) Bukittinggi dan berlanjut ke Janjang Saribu (Tangga Seribu).


Di Janjang Saribu ini ‘roh’ Minangkabau betul-betul menampakkan diri. Percakapan-percakapan dua insan yang seagama ini diiringin oleh musik tradisional Minang, Saluang. Saluang itu ditiup oleh seorang gaek(datuak/datok/atok/kakek) dengan kopiah hitam dengan posisi Duduak Baruak (Duduk Monyet) pas di tepi tangga. Pemandangan Gonjong-Gojong atap rumah Gadang dengan latarbelakang pegunungan yang eksotik pun ditampilkan mengiringi bunyi Saluang.


Percakapan mereka pun berlanjut ke atas Jumbatan Limpapeh (Jembatan Limpapeh), masih di Bukittinggi. Pemandangan adegan disini kembali diarahkan pada Gojong atap rumah gadang yang dipasak di tiang-tiang jembatan.


Saat itu, dokter Oka berhasil menyakinkan Diana. Dan resepsi pernikahan pun digelar. Saat diana sedang dirias, nampak tabia di dinding-dinding ruangan tempat dia didandani. Tabia adalah kain dengan ukuran besar berwarna merah (salah satunya) dan dihiasi motif-motif Minangkabau dengan sulaman benang emas. Tabia ini hanya digunakan untuk acara-acara sakral di Minangkabau, dan paling sering digunakan ketika Baralek(pernikahan) adat Minang. Tabia biasanya seperangkat dengan Palaminan atau singgasana Anak Daro danMarapulai atau pengantin wanita dan pria di Minangkabau.


Pengucapan janji pernikahan lantas dilangsungkan di Gereja. Hanya saja, Diana dilanda kebimbangan. Dan akhirnya dia tak menjawab janji pernikahan itu. Dokter Oka pun memutuskan untuk tak menikahi Diana. Sementara ibu Diana kemudian memberikan restu pada Diana untuk menemui lelaki idamannya yang bekerja sebagai pemasak itu.


Menuai Kemarahan

Film yang diproduserkan oleh Raam Punjabi ini menuai kontroversi selepas dirilis pada akhir Desember 2012. Masyarakat Minangkabau bereaksi dengan menganggap film ini telah menghina identitasnya. Minang yang memiliki kesenyawaan dengan Islam diposisikan sebagai Kristen dengan segala atributnya.


Meskipun dikatakan bahwa Diana itu merujuk pada Padang, bukan Minangkabau, namun simbol-simbol yang ditampilkan adalah simbol-simbol Minangkabau. Hal yang juga mengherankan adalah ketika ketika keluarga Diana dikatakan beragam, Kristen, dan berasal dari Padang. Sebab, hampir seluruh lokasi film yang dimainkan di Sumatera Barat bertempat di Bukittinggi.


Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, melihat bahwa film Bramantyo ini sedang melakukan dekonstruksi. Maksudnya, dia membongkar tanda-tanda keminangan yang sebetulnya sudah menjadi stereotip dari tanda-tanda yang diterima umum.


“Falsafah orang Minang itukan, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (adat berpedoman pada agama, agama berpedoman pada kitab Allah – Al Qur’an). Bukan Syarak Bersendi (agama berpedoman) Injil-kan? Nah, kalau keluar dari situ (Kitabullah) berartikan kehilangan identitas keminangan,” ungkap Yasraf kepada LenteraTimur.com.


Menurut Yasraf, Minangkabau memiliki ciri tersendiri yang menempel dengan Islam. Ciri tersebut adalah kesalehan. Artinya, ketika orang bicara tentang Minang, maka tanda-tanda itu adalah Islam.


“Karena bagi kita (orang Minang), agama (Islam) sudah menjadi satu dengan adat,” jelas Yasraf.


Tanda-tanda atau simbol-simbol atau identitas keminangan yang muncul di film itu memang terlihat jelas. Sebut saja gonjong pada atap rumah Gadang, Jam Gadang (juga bergonjong), Jembatan Limpapeh, musik Saluang, pun dengan Jenjang Seribu. Itu semua adalah identitas yang dimiliki oleh Bukittinggi, bukan Padang. Dan itu menyimbolkan Minangkabau.


“Ketika tanda-tanda itu dimasukkan Kristen, kan sama saja mendekonstruksi atau merombak Minang itu sendiri. Artinya mencoba mengacaukan pun merubah stereotip tadi,” terang Yasraf.


Yasraf menduga film ini hendak kreatif dengan membongkar stereotip Minangkabau. Hanya saja, ia berlaga dengan Minangkabau yang memiliki falsafah adat yang berkiblat pada Kitabullah (Al-Quran).


Betapapun film Cinta Tapi Beda disebutkan berangkat dari kisah nyata, Yasraf menganggap itu dapat membuat simbol-simbol terkait Minangkabau berubah. Film ini memang disebutkan berasal dari kisah nyata yang ditulis dalam suatu blog milik Dwitasari. Cerita itu disebutkan benar-benar terjadi.


“Itu boleh-boleh saja dan menjadi haknya sutradara mengisahkan kisah nyata itu. Orang tidak bisa menggugatnya, ini dari sisi film. Tapi ketika kisah nyata itu diangkat menjadi film, Diana yang non-muslim sebagai tokoh utama, menjadi stereotip sendiri. Maksudnya mewakili gadis Minang. Menjadi pandangan umum. Ooo… ternyata gadis Minang itu Kristen. Stereotip tadi bekerja,” kata Yasraf yang juga penulis Semiotika dan Hipersemiotika ini.


Ini menjadi resiko dalam film, iklan, dan media yang lain. Penonton mendapatkan stereotip atas suatu identitas melalui simbol-simbolnya. Artinya, kata Yasraf, ketika film ini ditonton terus-menerus, lambat laun akan memunculkan padangan umum yang baru. Orang berpandangan Minang itu Kristen.


“Artinya kalau kebohongan ditayangkan terus menerus, lama-lama ia menjadi kebenaran. Kalau gadis Minang di tampilkan (sebagai) Kristen, lama-lama orang akan percaya gadis Minang itu Kristen”, tegas Yasraf mengingatkan.


Senada dengan Yasraf, antropolog Universitas Andalas, Padang, Erwin, juga mengatakan stereotip yang sama ihwal Minangkabau. Orang Minangkabau cenderung dilihat sebagai puak atau entitas yang kuat keislamannya. Jika dalam suatu salat berjamaah diketahui ada orang Minang, kata Erwin, maka orang tersebutlah yang biasanya maju ke depan untuk menjadi imam. Dari perspektif kultural, Minangkabau memang identik dengan Islam.


Mengenai adanya orang Minang yang beragama bukan Islam, Erwin menyanggahnya. Menurutnya, semua orang Minang yang tinggal di Sumatera Barat ini seluruhnya Islam. Namun, hal tersebut dapat dikecualikan ketika ada orang Minang yang merantau di luar wilayah kebudayaan Minangkabau, seperti Eropa atau Asia.


“Itu pun dipengaruhi oleh faktor pernikahan. Kalau laki-lakinya non-muslim dan perempuannya Minang, bisa terjadinya pindah agama. Tapi sepanjang saya ke daerah-daerah di Sumatera Barat, tidak ada orang Minang Kristen yang saya temui,” ungkap Erwin kepada LenteraTimur.com.


Terkait film Cinta Tapi Beda karya Hanung Bramantyo itu, Erwin mengatakan bahwa itu film yang bermasalah dan tak berwawasan. Ketika menyebutkan ‘Minangkabau’, maka semua yang memiliki identitas itu akan terkena.


“Contoh saja Minangkabau itu lebih luas dari Sumatera Barat yang ada hari ini. Bahkan sampai ke Negeri Sembilan (Malaysia-red),” pungkas Erwin.


Perhatian Erwin juga mengarah pada sosok perempuan, ibu, yang diperankan dalam film tersebut.


“Posisi perempuan Minang itu betul-betul di tempat pada posisi yang tinggi. Sumber inspirasi dari kehidupan masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Karena secara kultural perempuan punya posisi yang penting dan startegis, maka film Cinta Tapi Beda yang juga memposisikan perempuan sebagai tokoh sentral dan beragama Kristen dan tinggal di Minang pula, ini yang menjadi persoalan … dilihat dari perpektif orang Minang sebagai pendukung kebudayaan minangkabau itu sendiri,” kata Erwin.


Selain itu, Erwin juga menyayangkan tentang film tersebut yang tidak ditayangkan atau tidak beredar di Sumatera Barat.


“Terasa dipukul dari belakang kita. Dan sangat tidak etis!” ungkap Erwin dengan nada meninggi.


Pengadilan Adat Minangkabau

Reaksi keras terhadap film ini juga disampaikan oleh organisasi masyarakat Paga Nagari, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) dan tokoh perantau Minangkabau. Mereka meminta Hanung Bramantyo selaku supervisi dalam film ini agar datang ke Minangkabau dalam kurun waktu 5 x 24 jam.


Ketua Paga Nagari Ibnu Aqil D. Ghani, dalam jumpa persnya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat, Kamis (10/1), mengatakan meminta pertanggungjawaban Hanung yang dianggap melecehkan masyarakat Minangkabau di depan tokoh adat Minang. Dan kedatangan Hanung ke Minangkabau akan dijamin keamanannya, sebagaimana dilaporkan oleh HarianHaluan.com.


Menurut tetua adat Azwir Datuak Rajo Malano, perbuatan Hanung sudah tergolong kesalahan berat. Hukuman yang pantas adalah minimal menjalani pengabdian di Minangkabau selama 20 tahun. Hukum adat yang akan dijalani itu disebut tuok palang, yang berarti hukum yang berlaku bagi anak di luar Minangkabau.


“Pengabdian yang dimaksudkan dalam hukum ini melakukan kegiatan kerja bakti. Dulu namanya, kerja paksa,” ujar Azwir.


Hal serupa juga dilakukan oleh Wali Kota Payokumbuah Riza Falepi Datuak Rajo Ka Ampek Suku. Dia terang-terangan melayangkan keberatan seraya melarang film Cinta Tapi Beda diputar atau beredar di kotanya. Sebab, ia meyakini hal tersebut dapat menimbulkan kemarahan masyarakat.


”Ada satu hal yang sangat tidak masuk akal. Sutradara atau penulis ske­nario mengisahkan Diana, ga­­­dis Padang, beragama Ka­tolik. Manalah ada orang Mi­nang yang tidak beragama Islam. Kita sungguh pingin tahu, dari mana sutradara film men­d­apatkan ide cerita seperti itu,” papar Riza sebagaimana dirilis olehPadangEkspres.co.id.


Sementara itu, Ketua Balai Kajian Konsultasi dan Pemberdayaan Nagari Adat di Payokumbuah, Yulfian Azrial, juga menyesalkan isi film tersebut. Kepada LenteraTimur.com, dia mengatakan bahwa penciptaan karya seni haruslah didahului dengan kajian sosio-antropologis yang dalam oleh pelaku film itu sendiri.


“Terbukti banyak simbol-simbol Minang yang diungkap, tapi tak selaras dengan cerita di film. Akibatnya menghina Minang itu sendiri!”